20 Agustus, 2010

Jangan Sembarangan Memposisikan Seseorang sebagai 'Ustadz'!

oleh Abu Zuhriy Rikiy Dzulkifliy pada 20 Agustus 2010

Tidak setiap orang yang memiliki ilmu itu disebut ustadz. 'Gelar' Ustadz itu tidak sembarangan. Ustadz adalah AHLI ILMU. Gelar ustadz itu tidak sembarangan diberikan, dan hanya orang yang pantas, yang berhak memberikan gelar ini. Maka gelar ini harus datang dari ustadz lainnya; bukan datang dari orang-orang selainnya. Maka janganlah kita menyebut seseorang 'ustadz' atau memposisikan seseorang sebagai ustadz; terkecuali ia memang diakui ustadz oleh USTADZ lainnya. dan memang ia memiliki STANDAR-STANDAR yang memang menjadikannya PANTAS menjadi seorang ustadz. Ini yang perlu dipahami ya ikhwah.


Banyak yang tidak mengetahui mudharat-mudharat yang dihasilkan dari kekeliruan ini. Dengan sembarangannya seseorang menggelari seseorang dengan gelar ustadz (terlebih lagi orang yang digelari tersebut tidak berhak dengan gelar tersebut) maka ini akan merusak ilmu. Kenapa? karena ini dapat mempengaruhi orang lain untuk menimba ilmu darinya (menuntut ilmu kepadanya, bertanya tentang ilmu kepadanya; dll.) padahal dia belum pantas untuk menjadi seorang GURU atau PENGAJAR atau DA'I atau ULAMA atau AHLI ILMU!

Dan yang sangat dikhawatirkan adalah ketika orang yang digelari tersebut TIDAK TAHU DIRI, dan semakin BERLAGAK seperti USTADZ. Allahul musta'aan. Sehingga dia -ustadz jadi-jadian tersebut- ditanyakan ilmu, dan ia pun BERFATWA TANPA ILMU [bahkan terkadang ini kita dapati kepada saudara-saudara kita yang juga SUDAH MENGENAL MANHAJ YANG BENAR, walaupun ia tidak dipanggil ustadz, dan tidak mengaku ustadz; tapi ia banyak berbicara DENGAN KEBODOHAN (tanpa ilmu) dan KERAGU-RAGUAN (tanpa kemantapan ilmu)].

Inilah yang menjadi pembuktian akan hadits-hadits Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam:
    لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
    “Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang besar dari kami dan tidak merahmati orang yang kecil dari kami dan tidak mengetahui hak orang yang alim dari kami.” (Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir )

Mereka tidak menghormati orang besar; sekaligus tidak mengetahui hak-hak orang lain. Bahkan mereka tidak memberikan orang alim hak-haknya (yakni menuntut ilmu kepada selainnya), yaitu dengan mengangkat orang-orang yang BUKAN AHLI ILMU sebagai pemimpin mereka dalam agama.

Padahal Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam bersabda:
    الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Berkah itu bersama orang-orang besarnya kalian.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 1778)

Dalam riwayat lain, Rasulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam bersabda, yang artinya:  “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil)”

Nu’aim berkata :
Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir ?”.
Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran (akal) mereka semata".

Banyak pendefinisian 'ulama mengenai al-Ashaaghir ini, termasuk didalamnya adalah ahlul bid'ah.

Dan diriwayatkan oleh Anas bin Malik radiallahuanhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: ‘Wahai Rasulullah, kapankah kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar?’
Beliau menjawab: ‘Apabila telah nampak pada kalian apa yang telah nampak pada umat-umat sebelum kalian.’
Kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah apa yang nampak pada umat (sebelum kami)?’
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kekuasan dipegang oleh orang-orang kecil (maksudnya adalah orang-orang yang bukan ahlinya) di antara kalian, perbuatan keji dilakukan para pembesar kalian, dan ilmu dimiliki oleh orang yang hina dari kalian.”
Berkata Zaid (salah seorang perawi hadits): "Yaitu apabila ilmu diambil oleh orang-orang fasik.” (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 1/2)

Dan apa yang mereka lakukan, yakni mengangkat pemimpin agama yang bodoh; menjadi pembuktian akan kebenaran hadits Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam berikut:
 إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba(Nya)
وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
Akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama.
 حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّا سُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً
Sampai bila tidak tersisa lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para pemimpin yang bodoh
 فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Maka mereka pun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu.
 فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
Maka sesatlah mereka lagi menyesatkan (HR. Bukhariy dan Muslim)

Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam juga bersabda:
 سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ
 “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu
Akan dipercaya/dibenarkan padanya orang yang berdusta
 وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ
 dan dianggap berdusta orang yang jujur,
 وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ
 orang yang berkhianat dianggap amanah
  وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الْأَمِيْنُ
 dan orang yang amanah dianggap berkhianat
 وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ
 dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhah.
 قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ

Ditanyakan, ‘ Siapakah Ar-Ruwaibidhah itu?'
 قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ الْعَامَّةِ (Beliau shållallåhu 'alayhi wa sallam) berkata: ‘ Orang yang bodoh berbicara dalam perkara ummat.” (HR. Ibnu Majah, Disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah, juga dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )

Berkata Ibnu Mas'ud Rådhiyallåhu 'anhumaa: “Manusia masih akan senantiasa sebagai orang yang shalih lagi berpegang teguh sepanjang ilmu datang kepada mereka dari para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan orang-orang besar mereka. Maka apabila (ilmu) datang kepada mereka dari orang-orang kecil [orang-orang bodoh yang bicara masalah agama dan orang-orang menyimpang (ahlul bid'ah) -abu zuhriy-], binasalah mereka.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Madarik An-Nazhar hal. 161)

Ukuran seorang 'ulama (ahli 'ilm)
Al Hafidz ibnu AbdilBarr rahimahullah berkata : "Definisi ilmu di sisi para ulama adalah, yang engkau yakini dan menjadi jelas bagimu, maka setiap orang yang yakin dan jelas berarti ia telah mengetahuinya. Atas dasar ini orang yang belum sampai kepada keyakinan dimana ia berpendapat hanya sebatas ikut-ikutan saja (taqlid), maka ia tidak berilmu tentangnya ".(Jami' Bayanil 'ilmu 2/36-37).[3]

Imam Asy Syafi'I berkata : "Tidak halal bagi seorangpun berfatwa dalam agama Allah kecuali orang yang berilmu tentang kitabullah, nasikh mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, ta'wil dan tanzilnya, makki dan madaninya dan apa yang diinginkan darinya. Kemudian ia mempunyai ilmu yang dalam mengenai hadits Rosulullah sallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana ia mengenal Al Qur'an. Mempunyai ilmu yang dalam mengenai bahasa arab, sya'ir-sya'ir arab dan apa yang dibutuhkan untuk memahami al qur'an, dan ia mempunyai sikap inshaf (adil) dan sedikit berbicara. Mempunyai keahlian dalam meyikapi perselisihan para ulama. Barang siapa yang memiliki sifat-sifat ini, silahkan ia berbicara tentang ilmu dan berfatwa dalam masalah halal dan haram, dan barang siapa tidak memilikinya maka ia hanya boleh berbicara tentang ilmu namun tidak boleh berfatwa ".(Shahih faqih wal mutafaqqih hal 390).

Berkata Ibnul Qayyim dalam I’l­am Al-Muwaqqi’in 4/212, “(Yaitu) Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan perkataan para shahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara nawazil*."
*Maksudnya yaitu kejadian-kejadian atau masalah-masalah kontemporer yang pelik, yang terjadi pada kaum muslimin

Ibnu Rajab mencontohkannya seperti Imam Ahmad, kemudian beliau menjelaskan sisi kepantasan Imam Ahmad untuk berfatwa dalam nawazil. Di antara kriteria Imam Ahmad yang disebutkan oleh Ibnu Rajab yaitu:
    - Beliau telah mencapai puncak pengetahuan tentang Al-Qur`an, As-Sunnah dan Al-Atsar.
    - Ilmu Al-Qur`an di antaranya tentang An-Nasikh Wal Mansukh, Al-Mutaqaddim Wal Muta`akhkhir serta tafsir para shahabat dan tabi’in.
    - Ilmu As-Sunnah di antaranya hafalan beliau terhadap hadits, pengetahuan tentang shahih dan dhaif suatu hadits, pengetahuan tentang rawi-rawi yang tsiqah dan majruh, serta pengetahuan tentang jalan-jalan hadits dan cacat-cacatnya.

Walaupun kita mengetahui zaman sekarang, terutama di negeri kita; sangat amat sulit mendapatkan kriteria yang ditetapkan Ibnu Rajab diatas, namun yang kita ambil darinya adalah BEGITU TINGGINYA standar yang ditetapkan oleh para ulama akan standar AHLI ILMU, karena mereka tahu AHLI ILMU memegang amanah yang besar, yang tidak dipegang oleh sembarang orang. Maka cukuplah disebut dosa, apabila orang tidak menempatkan amanah pada tempatnya; diantara yakni jika ia tidak menempatkan hak-hak ahli ilmu pada tempatnya.

Allah Subhanahu Wa Ta ’ala berfirman,
    إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
    Sesungguhnya Allah MENYURUH KAMU (untuk) menyampaikan amanat kepada YANG BERHAK MENERIMANYA,

    وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
    Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil  (An-Nisaa': 58)

Kemudian Allåh memberikan solusinya kepada siapakah kita pantas bertanya jika kita tidak memiliki pengetahuan, Ia berfirman:
 فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka BERTANYALAH kepada AHLI DZIKR (AHLI 'ILMU) jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl: 43)

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika ditanya tentang kapan terjadinya hari kiamat, bersabda,
  فَإِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
 “Apabila amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat.”
 قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا
(Maka ada yang) bertanya, “Kapan ditelantarkannya?”
 قَالَ إِذَا وُسِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
 Beliau shallallåhu 'alayhi wa sallam berkata, “Apabila perkara telah diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat.” (HSR. Bukhary dari shahabat Abu Hurairah)

Dari sini kita ketahui bahwa menyerahkan perkara agama yang khusus (yang terperinci) dan perkara-perkara besar kepada para AHLI ILMU merupakan ushul ‘ pokok ’ syariat Islam yang dipegang oleh para imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dari zaman ke zaman. Berkata Abu Hatim Ar-Razy Rahimahullah berkata: “Madzhab dan pilihan kami adalah mengikuti:
   - Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam,
   - Para shahabat beliau,
   - Para tabi’in
   - Dan orang-orang setelah mereka (yang mengikuti mereka) dengan baik, dan yang komitmen terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan membela para imam yang mengikuti jejak para ulama salaf.

Dan pilihan kami (adalah) apa yang dipilih oleh Ahlus Sunnah dari para imam di berbagai negeri, seperti:
    - Malik bin Anas di Madinah
    - dan Al-Auza’iy di Syam
    - dan Al-Laits bin Sa’ad di Mesir
    - dan Sufyan Ats-Tsaury
    - serta Hammad bin Zaid di Iraq [Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 1 hal. 202 karya Al-Lalika`i]

Beliau melanjutkan: Dan (kami) meninggalkan pendapat-pendapat:
    - Al-Mulabbisin (orang-orang yang menyamar-nyamarkan perkara),
    - Al-Mumawwihin (orang-orang yang mengaburkan perkara)
    - Al-Muzakhrifin (orang-orang yang menghias-hiasi/memperindah perkara dari yang sebenarnya)
    - Al-Mumakhriqin (para pembohong) lagi Al-Kadzdzabin (para pendusta) .”

 [Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 1 hal. 202 karya Al-Lalika`i.]
Berkata pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Minhajus Sunnah jilid 4 hal. 404, di tengah pembicaraan beliau terhadap masalah jihad (dan ini merupakan salah satu contoh perkara yang besar dan terperinci):
"Secara global, pembahasan tentang perkara-perkara sedetil ini merupakan pekerjaan orang khusus dari para ulama.”
(Lihat rincian ini secara lengkap dalam kitab Madarik An-Nazhar Baina At-Tathbiqat Asy-Syar’iyah wa Al-Infi’alat Al-Hamasiyah. Kitab ini telah direkomendasikan oleh dua ulama besar di zaman ini yaitu Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah dan Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah)

Maka janganlah sembarangan kita memberikan gelar-gelar seperti ustadz -dengan kebodohan kita- kepada orang yang tidak berhak menerimanya atau memposisikan seseorang sebagai ustadz. Kita hanya memberikannya kepada orang yang memang pantas menyandangnya dan BERHAK menyandangnya. Semoga kita tidak menyianyiakan amanah ini dan dapat mengamalkannya dengan sebaik-baiknya.'

Semoga bermanfa'at

Bahan rujukan:
- http://abuyahyabadrusalam.com/
- http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/08/al-akaabir-dan-al-ashaaghir-siapakah.html
- http://an-nashihah.com/?p=46