11 Agustus, 2010

Syaikh Al Albani dan Pendengkinya dari Indonesia






Seorang ulama besar abad ini dari Dammaj, Yaman, Syaikh Muqbil bin Hadi AI-Wadi’i rahimahullahu berkata: “…Sesungguhnya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani, tidak ada tandingannya dalam ilmu hadits. Ilmu dan karya beliau memberi manfaat bagi kaum muslimin lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh orang-orang yang punya semangat tapi jahil, yaitu para aktifis harakah Islam. Menurut keyakinanku, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani termasuk mujaddid yang telah dikabarkan oleh Rasulullah (shallallahu’alaihi wasalam) dalam hadits beliau: “Sesungguhnya Allah membangkitkan pada setiap awal kurun seorang mujaddid yang memurnikan kembali ajaran agama”. Hadits riwayat Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Iraaqi dan lainnya.


Dalam menyikapi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani orang-orang terbagi menjadi tiga kelompok:
  • Kelompok pertama: Orang-orang yang taklid, menerima seluruh pendapat dan perkataan beliau. 
  • Kelompok kedua: Orang-orang yang menolak seluruhnya, menolak ilmu beliau dan menjauhinya. 
  • Kelompok ketiga: Orang-orang yang mengambil sikap pertengahan. Memandang beliau sebagai salah seorang alim ulama kaum muslimin yang merupakan karunia yang Allah turunkan kepada umat manusia pada zaman sekarang ini untuk menyebarkan As-Sunnah dan memberantas bid’ah. Meyakini bahwa beliau bisa benar dan bisa juga salah, kadang tahu dan kadang tidak tahu. Akan tetapi mereka juga memandang bahwa beliau adalah seorang alim yang tiada duanya dalam ilmu As-Sunnah. Mereka menimba pelajaran dari ilmu dan karya-karya beliau tanpa taklid kepada beliau. Itulah sikap Salaf terhadap para ulama”. [Asy-Syaibaani II/554].

Tetapi, diantara sebagian orang dengki mengatakan bahwa Syaikh Al-Albani tidak semestinya dijuluki ‘muhaddits’ sebab hadis-hadis yang ditulis oleh Albani tidak diperoleh secara ‘mendengar’ sedangkan dalam mustalah hadits, ‘sama’an’ merupakan pengajian yang paling tinggi, sedangkan sampai sekarang belum terbukti Albani terima kitab semuanya secara sama’an.

Kita memang sering mendengar pendengki dari luar negeri seperti Hasan Saqqaf, Hamim Keller dan yang semisalnya, tetapi di Indonesia ada pula ‘Seorang Profesor Hadits’ yakni ‘Ali Mushthofa Yaqub’ seperti ditulis dalam bukunya ‘Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan’, yang mencurahkan segenap ‘kekesalannya’ kepada Syaikh Al-Albani.

Sebagai contohnya, dia menulis pada halaman 135, “Ungkapan ini kongkritnya adalah al Albani adalah seorang yang bodoh !”.

Pada halaman 133, sang professor menulis, “Maka, tidak heran apabila ahli hadits dari Maroko Syaikh Abdullah al-Ghumari menyatakan bahwa al Albani tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam menetapkan nilai hadits, baik shahih atau pun dha’if”.

Masih pada halaman 133, sang professor menulis, “Tidak mengherankan pula apabila Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani, ulama Saudi Arabia keturunan Sumatera Barat Indonesia mengatakan, ‘Al Albani adalah sesat dan menyesatkan”.

Pada halaman 136 sang professor menukil ucapan al-Ghumari, “Al Albani lemah dalam ilmu hadits baik matan maupun sanadnya”.

Pada halaman 93 sang professor menulis,“Dan kami sungguh tidak mengerti sikap al Albani ini, apakah memang dia itu tidak mengerti ilmu hadits, seperti yang dituduhkan oleh banyak ulama padanya, atau dia itu membuat kaidah-kaidah sendiri untuk mendha’ifkan atau menshahihkan hadits di luar kaidah-kaidah yang telah baku dan disepakati para ulama dalam disiplin ilmu hadits”.

Dan lain-lainnya yang ia tulis dengan mengutip serombongan ahli bid’ah yang sama-sama seperti dia ‘takut’ kehilangan bid’ahnya oleh dakwah salaf yang gencar. Padahal serombongan ahli bid’ah itu telah banyak sekali orang yang membongkar kedustaannya, kebodohannya dan penyimpangannya. Bahkan telah juga dibantah oleh Syaikh Al-Albani sampai khayalak menjadi tahu siapa sebenarnya yang ‘bodoh’, ‘lemah dalam matan dan sanad’, atau ‘sesat dan menyesatkan’.

Tidakkah sang ‘propesor’ tahu bahwa Syaikh Al-Ghumari ini membolehkan ritual-ritual bid’ah seperti maulid, membaca ‘sayyidina’ dalam adzan dan Qomat, membangun bangunan tinggi diatas kubur dan lain-lainnya yang jelas-jelas tidak ada dalilnya. Tapi semua itu tidak mengherankan sebab sang ‘propesor’ ternyata juga pemelihara bid’ah bahkan sebagai ‘sesepuhnya’ yakni anggota Dewan Syariah Majelis az-Zikra (majelis dzikir jama’i) pimpinan Arifin Ilham yang terdiri dari 15 orang diantaranya : Prof. Dr. Quraish Shihab, Prof. Dr. Ali Yafie, Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, Dr. Salim Segaf al-Jufri, K. H. Ahmad Dimyati MA, Ja’far Umar Thalib dan lainnya.

Tidakkah sang ‘propesor’ malu kepada gurunya yaitu Prof. Dr. Muhammad Mustafa Al-A’dhami, ahli hadits dari India yang seperti Al-Albani mendapatkan penghargaan dari Raja Arab karena pengabdiannya kepada sunnah?. Prof. Dr. Muhammad Mustafa Al-A’zhami ini telah menyerahkan keputusan dan koreksi hadits kepada Syaikh Al-Albani dalam penelitiannya atas Shahih Ibn Khuzaimah. Beliau meminta –melalui perantara pemilik Al-Maktab Al-Islami di Beirut yakni Zuheir Syawisy- agar memeriksa ta’liq dan takhrijnya atas kitab Shahih Ibnu Khuzaimah. Mengoreksi dan membenahi apa yang beliau pandang perlu untuk dikoreksi dan dibenahi. Dan beliau telah memeriksa keempat juznya dan telah dicetak sampai sekarang. Dr. Mustafa telah mengisyaratkan hal itu dalam mukaddimah kitabnya. Ia memberi tanda (Nashir) atau huruf (N) bagi koreksi Syaikh Nashiruddin Al-Albaani. Ini merupakan bukti ketawadhu’an Dr. Mustafa dan betapa jauhnya dia dari memperturutkan kepentingan pribadi dan hawa nafsu, tidak seperti muridnya ini. Bahkan dalam kitab yang pasti sang ‘propesor mengetahuinya, Dr. Muhammad Mustafa A’dhami mengatakan, “Saya mengucapkan terimakasih kepada Syaikh Nashiruddin Al-Albani, yang telah menempatkan keluasan ilmunya pada manuskrip-manuskrip langka dalam tugas akhir saya”. Dan apakah ada ucapan dari Dr. Azhami yang mencela Al-Albani karena tidak mendengar hadits dengan sema’an?. Bahkan beliau memanggil Al-Albani, “Fadhilatus Syaikh Al-Muhadits Al-Kabir Nasiruddin Al-Albani…” (Shahih Ibn Khuzaimah 1/6).

Temannya Prof. Dr. Muhammad Mustafa Al-A’dhami, yang bersama-sama mendirikan Univeritas King Abdul Aziz yang kini disebut Ummul Qura’, yaitu Prof. Dr. Amin Al-Mishri, yang juga mantan dekan kuliah hadits di Al-Jami’ah Al-Islamiyah dan sebelumnya dosen bidang hadits di universitas Syiria, sering mengatakan bahwa Syaikh Al-Albaani lebih berhak memperoleh kedudukan tersebut daripadanya dan menganggap dirinya hanyalah murid Al-Albaani. Beliau berkata: “Termasuk kemalangan dunia saat ini adalah memilih orang-orang seperti kami para doktor untuk mengajar materi hadits di perguruan tinggi sementara masih ada orang yang lebih layak daripada kami yang sebenarnya seperti kami ini belum layak menjadi muridnya dalam ilmu ini. Akan tetapi begitulah sistem dan tradisi yang berlaku” (Al-Ashalah 23/77).

Bahkan Syaikh Al-Albani lah orang pertama kali memasukkan materi ilmu sanad ke dalam kurikulum bidang studi hadits yang diajarkan di perguruan tinggi. Beliau terhitung sebagai orang pertama di dunia yang memasukkan bidang studi ini dalam kurikulum perguruan tinggi. Sementara saat itu seluruh perguruan tinggi Islam di negara-negara Arab dan negara-negara Islam lainnya belum ada yang memasukkannya ke dalam kurikulum mereka. Sampai-sampai perguruan tinggi Al-Azhar yang klasik dan berpengalaman belum mengajarkan ilmu ini. Materi ini memberikan pengaruh yang positif setelah beliau meninggalkan Al-Jami’ah. Setelah itu bidang studi hadits ditangani oleh Dr. Muhammad Amin Al-Mishri. Beliau meneruskan apa yang telah dibuat oleh Syaikh Al-Albaani dan menyempurnakannya, sehingga para pelajar tergerak untuk mentahqiq manuskrip-manuskrip hadits, semoga Allah merahmati beliau.

Syaikh Bin Baz pada suatu hari pernah berkata: “Aku belum pernah melihat di kolong langit pada saat ini orang yang alim dalam ilmu hadits seperti Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albaani.”

Syaikh Abdus Shomad Syarafuddin suatu ketika berkata dalam tulisannya: “Darul Ifta’ Riyadh Kerajaan Saudi Arabia telah meminta penjelasan kepada Syaikh Ubeidullah Ar-Rahmani guru besar di Al-Jami’ah Al-Islamiyah (yakni Al-Jami’ah As-Salafiyah di Banaris India) tentang sebuah hadits yang sangat asing lafal dan aneh maknanya yang berkaitan erat dengan zaman sekarang. Lalu para ulama di sini (di India) sepakat menanyakannya kepada orang yang paling alim dalam ilmu hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani, seorang Alim Rabbani.” (Penyusun : Abu Abdillah bin Hasan As Sundawy)